Bab 1
1.1 Latar belakang
Curah hujan ialah jumlah air yang jatuh pada permukaan tanah selama periode tertentu bila tidak terjadi penghilangan oleh proses evaporasi, pengaliran dan peresapan, yang diukur dalam satuan tinggi. Tinggi air hujan 1mm berarti air hujan pada bidang seluas 1mm2 berisi 1 liter. Unsur-unsur hujan yang harus diperhatikan dalam mempelajari curah hujan ialah : jumlah curah hujan, dan intensitas atau kekuatan tetesan hujan(Prof. Dr. Ir. Arifin, MS ).
Air yang diatas permukaan tanah yang datar dianggap sama tinggi. Volume luas hujan pada luas permukaan tertentu dengan mudah dapat dihitung bila tingginya dapat diketahui. Maka langkah penting dalam pengukuran hujan ditujukan kearah pengukuran tinggi yang representatif dari hujan yang jatuh selama jangka waktu tertentu. WMO menganjurkan penggunaan satuan milimeter sampai ketelitian 0,2 mm. Dalam bidang klimatologi pertanian dilakukan pencatatan hujan harian(jumlah curah hujan) setiap periode 24 jam dan jumlah hari hujan. Berdasarkan pengertian klimatologi, satu hari hujan ialah periode selama 24 jam terkumpul curah hujan setinggi 0,5 mm atau lebih. Apabila kurang dari ketentuan tersebut, maka hari hujan dianggap nol meskipun curah hujan tetap diperhitungkan(prof. Dr.Ir. Syamsul Bahri, MS).
Teknologi modifikasi cuaca menjadi bagian dari pengelolaan sumber daya air. Mendambakan turunnya hujan pada musim kering seperti sekarang, sering menjadi sebuah penantian panjang. Padahal, sumber-sumber air telah mengering dan kebutuhan air untuk beragam kebutuhan kian mendesak. Termasuk, misalnya, untuk pembangkit listrik. Untuk mempercepat turunnya hujan pada musim kering yang berkepanjangan, tak ada jalan lain selain melakukan campur tangan terhadap alam yaitu dengan mempercepat terjadinya hujan yang sudah secara luas dikenal sebagai hujan buatan.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1 Bagaimanakah siklus terjadinya hujan ?
1.2.2 Bagaimanakah pola hujan di indonesia ?
1.2.3 Bagaimana teknis dari hujan buatan ?
1.2.4 Apa saja jenis-jenis hujan di indonesia ?
1.2.5 Bahan apa yang digunakan dalam hujan buatan ?
1.3 Tujuan penulisan
1.3.1 Memahami bagaimana siklus terjadinya hujan
1.3.2 Mengerti pola hujan yang ada di indonesia
1.3.3 Memahami teknis dan mengetahui peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan hujan
1.3.4 Mengetahui bahan semai yang digunakan dalam cloud seeding & pengaruh bagi lingkungan
1.3.5 Mengetahui jenis-jenis hujan di indonesia
1.3.6 Mengetahui jenis-jenis hujan buatan secara umum
Bab 2
2. Pembahasan
2.1 Siklus terjadinya hujan
Hujan adalah peristiwa turunnya air dari langit ke bumi. Awalnya air hujan berasal dari air dari bumi seperti air laut, air sungai, air danau, air waduk, air rumpon, air sawah, air comberan, air susu, air jamban, air kolam, air ludah, dan lain sebagainya. Selain air yang berbentuk fisik, air yang menguap ke udara juga bisa berasal dari tubuh manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, serta benda-benda lain yang mengandung air.
Air-air tersebut umumnya mengalami proses penguapan atau evaporasi akibat adanya bantuan panas matahari. Air yang menguap / menjadi uap melayang ke udara dan akhirnya terus bergerak menuju langit yang tinggi bersama uap-uap air yang lain. Di langit yang tinggi uap tersebut mengalami proses pemadatan atau kondensasi sehingga membentuk awan. Dengan bantuan angin awan-awan tersebut dapat bergerak kesana-kemari baik vertikal, horizontal dan diagonal.
Akibat angin atau udara yang bergerak pula awan-awan saling bertemu dan membesar menuju langit / atmosfir bumi yang suhunya rendah atau dingin dan akhirnya membentuk butiran es dan air. Karena berat dan tidak mampu ditopang angin akhirnya butiran-butiran air atau es tersebut jatuh ke permukaan bumi (proses presipitasi). Karena semakin rendah suhu udara semakin tinggi maka es atau salju yang terbentuk mencair menjadi air, namun jika suhunya sangat rendah maka akan turun tetap sebagai salju.
Hujan tidak hanya turun berbentuk air dan es saja, namun juga bisa berbentuk embun dan kabut. Hujan yang jatuh ke permukaan bumi jika bertemu dengan udara yang kering, sebagian hujan dapat menguap kembali ke udara. Bentuk air hujan kecil adalah hampir bulat, sedangkan yang besar lebih ceper seperti burger, dan yang lebih besar lagi berbentuk payung terjun. Hujan besar memiliki kecepatan jatuhnya air yang tinggi sehingga terkadang terasa sakit jika mengenai anggota badan kita.
2.2 Pola hujan di indonesia
Tjasyono (1999) menyatakan Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi 3 pola iklim utama dengan melihat pola curah hujan selama setahun. Hal ini didukung oleh Aldrian dan Susanto (2003) yang telah mengklasifikasi Iklim Indonesia sebagai berikut: Pola curah hujan di wilayah Indonesia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu pola Monsoon, pola ekuatorial dan pola lokal. Pola Moonson dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak musim hujan yaitu sekitar Desember). Selama enam bulan curah hujan relatif tinggi (biasanya disebut musim hujan) dan enam bulan berikutnya rendah (bisanya disebut musim kemarau). Secara umum musim kemarau berlangsung dari April sampai September dan musim hujan dari Oktober sampai Maret. Pola equatorial dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bimodal, yaitu dua puncak hujan yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober saat matahari berada dekat equator. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodal (satu puncak hujan) tapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan pada tipe moonson. Wilayah Indonesia disepanjang garis khatulistiwa sebagian besar mempunyai pola hujan equatorial, sedangkan pola hujan moonson terdapat di pulau Jawa, Bali, NTB, NTT, dan sebagian Sumatera. Sedangkan salah satu wilayah mempunyai pola hujan lokal adalah Ambon (Maluku).
Pola umum curah hujan di Indonesia antara lain dipengaruhi oleh letak geografis. Secara rinci pola umum hujan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut. Pantai sebelah barat setiap pulau memperoleh jumlah hujan selalu lebih banyak daripada pantai sebelah timur.
Curah hujan di Indonesia bagian barat lebih besar daripada Indonesia bagian timur. Sebagai contoh, deretan pulau-pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT yang dihubungkan oleh selat-selat sempit, jumlah curah hujan yang terbanyak adalah Jawa Barat .
Curah hujan juga bertambah sesuai dengan ketinggian tempat. Curah hujan terbanyak umumnya berada pada ketinggian antara 600 – 900 m di atas permukaan laut. Di daerah pedalaman, di semua pulau musim hujan jatuh pada musim pancaroba. Demikian juga halnya di daerah-daerah rawa yang besar. Bulan maksimum hujan sesuai dengan letak DKAT.
Saat mulai turunnya hujan bergeser dari barat ke timur seperti:
1) Pantai barat pulau Sumatera sampai ke Bengkulu mendapat hujan terbanyak pada bulan November.
2) Lampung-Bangka yang letaknya ke timur mendapat hujan terbanyak pada bulan Desember.
3) Jawa bagian utara, Bali, NTB, dan NTT pada bulan Januari – Februari.
Di Sulawesi Selatan bagian timur, Sulawesi Tenggara, Maluku Tengah, musim hujannya berbeda, yaitu bulan Mei-Juni. Pada saat itu, daerah lain sedang mengalami musim kering. Batas daerah hujan Indonesia barat dan timur terletak pada kira-kira 120( Bujur Timur. Grafik perbandingan empat pola curah hujan di Indonesia dapat Anda lihat pada gambar dibawah ini.
Rata-rata curah hujan di Indonesia untuk setiap tahunnya tidak sama. Namun masih tergolong cukup banyak, yaitu rata-rata 2000 – 3000 mm/tahun. Begitu pula antara tempat yang satu dengan tempat yang lain rata-rata curah hujannya tidak sama.
Ada beberapa daerah yang mendapat curah hujan sangat rendah dan ada pula daerah yang mendapat curah hujan tinggi:
Daerah yang mendapat curah hujan rata-rata per tahun kurang dari 1000 mm, meliputi 0,6% dari luas wilayah Indonesia, di antaranya Nusa Tenggara, dan 2 daerah di Sulawesi (lembah Palu dan Luwuk).
Daerah yang mendapat curah hujan antara 1000 – 2000 mm per tahun di antaranya sebagian Nusa Tenggara, daerah sempit di Merauke, Kepulauan Aru, dan Tanibar.
Daerah yang mendapat curah hujan antara 2000 – 3000 mm per tahun, meliputi Sumatera Timur, Kalimantan Selatan, dan Timur sebagian besar Jawa Barat dan Jawa Tengah, sebagian Irian Jaya, Kepulauan Maluku dan sebagaian besar Sulawesi.
Daerah yang mendapat curah hujan tertinggi lebih dari 3000 mm per tahun meliputi dataran tinggi di Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, dataran tinggi Irian bagian tengah, dan beberapa daerah di Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba.
Perlu ketahui pula bahwa hujan terbanyak di Indonesia terdapat di Baturaden Jawa Tengah, yaitu curah hujan mencapai 7,069 mm/tahun. Hujan paling sedikit di Palu Sulawesi Tengah, merupakan daerah yang paling kering dengan curah hujan sekitar 547 mm/tahun.
Sebagai bahan perbandingan curah hujan di daerah lain : 540 mm/tahun di Eropa sedangkan dipedalaman 1250 mm/tahun, di Pegunungan Rocky 3400 mm/tahun, di pedalaman Amerika 400 mm/tahun. Daerah yang memiliki curah hujan tertinggi di Cherrapunji 10820 mm/tahun ( selama 1860-Juli 1861 memiliki curah hujan 2646,12 mm/tahun dan selama 5 hari berturut-turut dibulan Agustus 1841 sebesar 38000 mm/tahun atau setara dengan curah hujan selama 4 tahun di New York), sedangkan di Puncak Gunung Waialeale di Kanai Tengah, Kepulauan Hawaii sebesar 1175,84 mm/tahun.
2.3 Hujan buatan
Penyemaian awan (cloud seeding) merupakan kegiatan untuk membuat hujan buatan. Cloud seeding modern diawali setelah penemuan Schaever pada laboratorium milik General Electric di Amerika serikat pada tahun 1946. Tidak lama kemudian, peneliti dari CSIRO Australia melakukan penelitian lapangan secara intensif dengan menggunakan peralatan yang lebih baik. Kegiatan cloud seeding pertama kali dilakukan pada tahun 1950 pada beberapa negara di dunia.
Percobaan penyemaian awan telah dilakukan oleh banyak peneliti dari berbagai negara yang memiliki berbagai tipe iklim. Evaluasi untuk mengetahui efeknya biasanya dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan metode statistik dan metode fisik.
Cloud seeding dilakukan dengan cara memodifikasi atau menginterupsi proses hujan yang terjadi di dalam awan dengan cara memasukkan langsung material atau bahan seeding (bahan semai) ke dalam awan.
Hal ini dilakukan dengan menggunakan beberapa cara, yaitu dengan pesawat terbang, roket, GBG (Ground Base Generator) atau meriam (canon).
Pilot terbang di bawah dasar awan dan dengan cermat mencari medan up-draft untuk kemudian melepas bahan seeding dengan jumlah tertentu sehingga terhisap oleh up-draft. Cara lainnya adalah terbang di atas awan atau punggung awan dan melepas bahan semai pada daerah awan yang memiliki banyak air lewat-dingin (supercooled water). Pemberian bahan semai ke dalam awan mempengaruhi proses hujan atau proses presipitasi sehingga jumlah hujan dari awan meningkat.
Bahan semai yang digunakan pada kegiatan cloud seeding terdiri dari dua kategori dan disesuaikan dengan mekanisme presipitasi yang terjadi pada awan yang menjadi obyek. Kategori pertama merupakan bahan glasiogenik (kristal es) seperti perak iodida (AgI), dry ice (CO2 padat), larutan CO2, dan cairan propane yang digunakan untuk proses hujan pada lingkungan atmosfer dengan suhu di bawah level beku atau disebut "awan dingin". Kategori kedua adalah bahan yang digunakan untuk proses hujan yang terjadi pada sistem awan yang berada pada lingkungan atmosfer dengan suhu di atas level beku atau disebut "awan hangat". Pada lingkungan yang hangat ini diperlukan bahan yang bersifat higroskopis (mengikat air) seperti garam dapur (NaCl), campuran pupuk urea dengan amonium nitrat, dan kalsium klorida (CaCl2).
Dari penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti atas pemakaian bahan-bahan tersebut pada kegiatan cloud seeding, ditegaskan bahwa tidak ada pengaruh nyata dampak buruknya atas lingkungan, dan juga pengaruh tambahan hujan yang turun atas iklim atau cuaca pada daerah lain di sekitarnya. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa konsentrasi perak iodida (AgI) dalam air hujan atau salju adalah sangat kecil, yaitu kurang dari 0.1 mikrogram per liter.
2.3.4 Jenis-jenis hujan di indonesia
Untuk kepentingan kajian atau praktis, hujan dibedakan menurut terjadinya, ukuran butirannya, atau curah hujannya.
Jenis-jenis hujan berdasarkan terjadinya diantaranya sebagai berikut :
Hujan siklonal, yaitu hujan yang terjadi karena udara panas yang naik disertai dengan angin berputar.
Hujan zenithal, yaitu hujan yang sering terjadi di daerah sekitar ekuator, akibat pertemuan Angin Pasat Timur Laut dengan Angin Pasat Tenggara. Kemudian angin tersebut naik dan membentuk gumpalan-gumpalan awan di sekitar ekuator yang berakibat awan menjadi jenuh dan turunlah hujan.
Hujan orografis, yaitu hujan yang terjadi karena angin yang mengandung uap air yang bergerak horisontal. Angin tersebut naik menuju pegunungan, suhu udara menjadi dingin sehingga terjadi kondensasi. Terjadilah hujan di sekitar pegunungan.
Hujan frontal, yaitu hujan yang terjadi apabila massa udara yang dingin bertemu dengan massa udara yang panas. Tempat pertemuan antara kedua massa itu disebut bidang front. Karena lebih berat massa udara dingin lebih berada di bawah. Di sekitar bidang front inilah sering terjadi hujan lebat yang disebut hujan frontal.
Hujan muson atau hujan musiman, yaitu hujan yang terjadi karena Angin Musim (Angin Muson). Penyebab terjadinya Angin Muson adalah karena adanya pergerakan semu tahunan Matahari antara Garis Balik Utara dan Garis Balik Selatan. Di Indonesia, hujan muson terjadi bulan Oktober sampai April. Sementara di kawasan Asia Timur terjadi bulan Mei sampai Agustus. Siklus muson inilah yang menyebabkan adanya musim penghujan dan musim kemarau.
Jenis-jenis hujan berdasarkan ukuran butirnya :
Hujan gerimis / drizzle, diameter butirannya kurang dari 0,5 mm
Hujan salju, terdiri dari kristal-kristal es yang suhunya berada dibawah 0° Celsius
Hujan batu es, curahan batu es yang turun dalam cuaca panas dari awan yang suhunya dibawah 0° Celsius
Hujan deras / rain, curahan air yang turun dari awan dengan suhu diatas 0° Celsius dengan diameter ±7 mm.
Jenis-jenis hujan berdasarkan besarnya curah hujan (definisi BMKG)
hujan sedang, 20 - 50 mm per hari
hujan lebat, 50-100 mm per hari
hujan sangat lebat, di atas 100 mm per hari
2.3.5 Hujan asam
Hujan asam diartikan sebagai segala macam hujan dengan pH di bawah 5,6. Hujan secara alami bersifat asam (pH sedikit di bawah 6) karena karbondioksida (CO2) di udara yang larut dengan air hujan memiliki bentuk sebagai asam lemah. Jenis asam dalam hujan ini sangat bermanfaat karena membantu melarutkan mineral dalam tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan binatang. Air hujan yang asam tersebut akan meningkatkan kadar keasaman tanah dan air permukaan yang terbukti berbahaya bagi kehidupan ikan dan tanaman. Usaha untuk mengatasi hal ini saat ini sedang gencar dilaksanakan.
Secara alami hujan asam dapat terjadi akibat semburan dari gunung berapi dan dari proses biologis di tanah, rawa, dan laut. Akan tetapi, mayoritas hujan asam disebabkan oleh aktivitas manusia seperti industri, pembangkit tenaga listrik, kendaraan bermotor dan pabrik pengolahan pertanian (terutama amonia). Gas-gas yang dihasilkan oleh proses ini dapat terbawa angin hingga ratusan kilometer di atmosfer sebelum berubah menjadi asam dan terdeposit ke tanah. Hujan asam karena proses industri telah menjadi masalah yang penting di Republik Rakyat Cina, Eropa Barat, Rusia dan daerah-daerah di arahan anginnya. Hujan asam dari pembangkit tenaga listrik di Amerika Serikat bagian Barat telah merusak hutan-hutan di New York danNew England. Pembangkit tenaga listrik ini umumnya menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya.
Proses yang terlibat dalam pemecahan Asam ( catatan: bahwa hanya SO2 dan NOX memegang peran penting dalam hujan asam).
Pembentukan hujan asam Secara sederhana, reaksi pembentukan hujan asam sebagai berikut:
Bukti terjadinya peningkatan hujan asam diperoleh dari analisa es kutub. Terlihat turunnya kadar pH sejak dimulainya Revolusi Industri dari 6 menjadi 4,5 atau 4. Informasi lain diperoleh dari organisme yang dikenal sebagai diatom yang menghuni kolam-kolam. Setelah bertahun-tahun, organisme-organisme yang mati akan mengendap dalam lapisan-lapisan sedimen di dasar kolam. Pertumbuhan diatom akan meningkat pada pH tertentu, sehingga jumlah diatom yang ditemukan di dasar kolam akan memperlihatkan perubahan pH secara tahunan bila kita melihat ke masing-masing lapisan tersebut. Sejak dimulainya Revolusi Industri, jumlah emisi sulfur dioksida dan nitrogen oksida ke atmosfer turut meningkat. Industri yang menggunakan bahan bakar fosil, terutama batu bara, merupakan sumber utama meningkatnya oksida belerang ini. Pembacaan pH di area industri kadang-kadang tercatat hingga 2,4 (tingkat keasaman cuka). Sumber-sumber ini, ditambah oleh transportasi, merupakan penyumbang-penyumbang utama hujan asam. Masalah hujan asam tidak hanya meningkat sejalan dengan pertumbuhan populasi dan industri tetapi telah berkembang menjadi lebih luas. Penggunaan cerobong asap yang tinggi untuk mengurangi polusi lokal berkontribusi dalam penyebaran hujan asam, karena emisi gas yang dikeluarkannya akan masuk ke sirkulasi udara regional yang memiliki jangkauan lebih luas. Sering sekali, hujan asam terjadi di daerah yang jauh dari lokasi sumbernya, di mana daerah pegunungan cenderung memperoleh lebih banyak karena tingginya curah hujan di sini. Terdapat hubungan yang erat antara rendahnya pH dengan berkurangnya populasi ikan di danau-danau. pH di bawah 4,5 tidak memungkinkan bagi ikan untuk hidup, sementara pH 6 atau lebih tinggi akan membantu pertumbuhan populasi ikan. Asam di dalam air akan menghambat produksi enzim dari larva ikan trout untuk keluar dari telurnya. Asam juga mengikat logam beracun seperi alumunium di danau. Alumunium akan menyebabkan beberapa ikan mengeluarkan lendir berlebihan di sekitar insangnya sehingga ikan sulit bernafas. Pertumbuhan Phytoplankton yang menjadi sumber makanan ikan juga dihambat oleh tingginya kadar pH. Tanaman dipengaruhi oleh hujan asam dalam berbagai macam cara. Lapisan lilin pada daun rusak sehingga nutrisi menghilang sehingga tanaman tidak tahan terhadap keadaan dingin, jamur dan serangga. Pertumbuhan akar menjadi lambat sehingga lebih sedikit nutrisi yang bisa diambil, dan mineral-mineral penting menjadi hilang. Ion-ion beracun yang terlepas akibat hujan asam menjadi ancaman yang besar bagi manusia. Tembaga di air berdampak pada timbulnya wabah diare pada anak dan air tercemar alumunium dapat menyebabkan penyakit Alzheimer.
5. Penutup
5.1 Kesimpulan
Daftar Pustaka
Ø Prof. Dr. Ir. Arifin, MS, 2010. Modul klimatologi. Fakultas pertanian: Universitas brawijaya
Ø Prof. Dr. Ir. Syamsul Bahri, MS,2010. Modul klimatologi. Faklutas pertanian : Universitas brawijaya
Diakses pada tanggal 05 maret 2011 pukul 16.30 wib
Diakses pada tanggal 05 maret 2011 pukul 16.31 wib
Diakses pada tanggal 05 maret 2011 pukul 16.35 wib
Diakses pada tanggal 05 maret 2011 pukul 16.32 wib